Oleh: Anand Krishna*

TRIBUN-BALI.COM – Kita Memiliki Kebiasaan untuk terus-menerus menunda berbagai tugas, terutama tugas-tugas yang kita rasa sulit untuk diselesaikan.

Namun, jika kita menganggap dunia ini sebagai perusahaan dan diri kita sebagai pekerja, maka tugas adalah tugas. Tidak bisa di hindari.

Introspeksi diri adalah salah satu tugas tersebut. Kita telah menundanya untuk sekian lama, baik pada tataran pribadi, maupun pada tataran kolektif.

Sekarang, sepertinya tidak ada pilihan, suka atau tidak, kita harus memenuhi tugas ini untuk menoleh ke dalam diri.

Covid-19 adalah Sebuah Peringatan “Hai teman-teman, kalian semua telah lupa untuk memenuhi tugas kalian.”

Mari kita berusaha untuk memahami pesan yang disampaikan melalui pandemi yang tengah berlangsung saat ini.

Ya, ia adalah pesan yang dikirimkan kepada kita oleh Sang Keberadaan. Tidak perlu mengutuk siapa-siapa yang kita anggap “berjasa” dalam hal penyebaran virus ini sehingga menjadi pandemi.

Taruhlah mereka menyampaikan pesan penderitaan, pesan kematian… Tugas kita, kewajiban kita sekarang adalah untuk menjadi pembawa kedamaian, cinta, dan harmoni.

Tanggung jawab kita adalah menyembuhkan diri sendiri sehingga kita bisa menyembuhkan orang lain.

Untuk Tujuan ini, Introspeksi Diri menjadi sangat penting. Bagaimana respons kita terhadap pandemi ini?

Skenario Pertama: Kita mefokuskan seluruh energi dan mind (gugusan pikiran dan perasaan) pada apa yang kita anggap sebagai monster paling berbahaya yang tak terkalahkan.

Padahal sifat tak terkalahkan dari monster tersebut adalah murni hasil proyeksi mind kita.

Dalam dunia materi yang senantiasa berubah ini, di mana tidak ada yang kekal, bahkan tubuh kita – jelas virus tidak bisa permanen juga.

Jika Kita tidak Memahami ini, maka Kualitas Malas akan merampas akal sehat kita.

Kita akan menjadi marah dan emosional tanpa alasan. Bahkan nasihat demi kebaikan dan peningkatan kesadaran kita sendiri akan disalahpahami dan ditolak sebagai hal yang buruk dan tidak berguna.

Akibatnya, kita menjadi semakin depresi, cemas atau bahkan cenderung ingin bunuh diri dan membunuh.

Dengan membiarkan diri menjadi begitu depresi sehingga nyala api semangat kehilangan sinar dan kilauannya – kita melakukan bunuh diri. Dan, dengan membangkitkan rasa takut dalam diri orang lain melalui ucapan dan perbuatan – kita menjadi pembunuh.

Oleh karena itu, kita mesti membuang jauh kemalasan diri kita. Sederhananya, mari kita membersihkan rumah kita, dimulai dengan kamar tidur kita sendiri.

Hanyalah ketika kita dapat hidup bebas dari kekacauan yang disebabkan oleh kotoran pada tataran fisik, barulah kita dapat mengidentifikasi kekacauan mental dan emosional yang tidak terkendali, tidak terbudayakan; dan, kemalasan yang sudah berakar dalam pribadi kita.

Menariknya, seorang pemalas dapat menyatakan diri sebagai orang yang sangat religius: “Semua ini adalah kehendak Tuhan, siapakah kita untuk menentangNya?” Ia selalu berusaha untuk membenarkan kemalasannya.

Kita harus mengangkat diri untuk bergerak melampaui “kemalasan bawaan ini,” seperti yang selalu diingatkan oleh Master saya, “harus disingkirkan!”

Kabar Baiknya adalah: Hal Ini Mudah. Kita bisa mengucapkan selamat tinggal pada sifat malas ini, kepada kelesuan dalam diri kita.

Ucapkan selamat tinggal padanya untuk selama-lamanya, agar tidak menulari orang lain. Sebab seorang pemalas rentan terhadap semua jenis penyakit.

Seseorang yang tertular virus malas dapat menulari orang lain. Dia selalu ragu dan tidak yakin dengan tindakannya sendiri.

Dia akan menghancurkan dirinya sendiri, tetapi sebelum hal itu terjadi, dia pun menjadi penyebab kehancuran bagi banyak orang lain.

Kembali ke Kabar Baik: Tidak ada, saya ulangi, tidak ada yang benar-benar suka tinggal di lingkungan yang kotor atau jorok.
Selama masa karantina mandiri ini, kita semua memiliki waktu untuk membersihkan kekacauan dan sampah pikiran serta perasaan yang telah kita kumpulkan selama bertahun-tahun.

Dengan melakukan itu, kita pindah ke tingkat berikutnya, ke Ranah Dinamis, yang dapat membangkitkan semangat kita, membuat kita menjadi tidak hanya produktif, tetapi juga kreatif.

Berada di ranah ini, awalnya kita bisa egois. Energi dan mind (gugusan pikiran dan perasaan) kita terfokus pada kelangsungan hidup kita sendiri dan kelangsungan hidup anggota keluarga kita, sanak saudara kita, orang-orang yang kita cintai.

Ini adalah Ranah “Aku”, “punyaku”, dan “milikku”. Keluargaku dan aku, temanku dan aku, komunitasku dan aku, partaiku dan aku, sukuku dan aku.

Sifat yang tidak terpuji, tetapi setidaknya kita tidak lagi bermalas-malasan, yaitu jika kita benar-benar bekerja, melakukan sesuatu, apa pun sesuai kemampuan kita, menggunakan semua yang kita miliki, untuk meringankan penderitaan.

Tapi, jangan terlalu lama berada di wilayah ini, jangan sampai menjadi egois dan sedemikian mementingkan diri sehingga melupakan kepentingan orang lain. Jangan menari diatas penderitaan orang lain.

Marilah Kita Bangkit Menuju ke Ranah ke-3 yaitu Ranah Ketenangan Dinamis dan Kepala Dingin; Ranah mereka yang eling, mereka yang berkarya tanpa pamrih.

Ranah mereka yang berkarya demi kesejahteraan semua orang, demi kolektivitas. Mereka yang berdoa untuk kesejahteraan semua makhluk.

Untuk itu, leluhur kita menganjurkan Laku Semedi atau Meditasi. Bukan sebagai sesuatu yang mistis, tetapi sebagai gaya hidup penuh welas asih, karunia, compassion.

Para pekerja tanpa pamrih yang berada di ranah ini akan selalu berupaya untuk meringankan beban orang lain. Inilah sifat Loka Samgraha – Berbuat Baik bagi Seluruh Loka, bagi Semua Orang tanpa pilih-kasih.

Marilah Kita Memahami Pesan yang disampaikan oleh Sang Keberadaan, melalui Covid-19.

Singkatnya: Siapa pun yang memproduksi dan mengirimkannya, itu karena konsekuensi dari perbuatan kita, dari tindakan kita di masa lalu yang tidak bertanggung jawab sehingga virus Corona ada di sini, di sekitar kita.

Jadi, Hukum Karma adalah Penyebabnya. Ya, tetapi itu tidak berarti bahwa kita harus menyerah pada nasib. Hukum Karma adalah sebuah prinsip yang dinamis.

Jika tindakan kita di masa lalu telah membawakan virus ini kepada kita, maka kita juga dapat mengakhirinya dengan tindakan kita sendiri.

Mari kita berdoa kepada Gusti untuk memohon pandangan yang jelas, untuk memohon kekuatan batin untuk mengubah ketakutan akan Corona menjadi Karunia, menjadi Kasih.

Mari kita ubah perilaku kita terhadap Ibu Pertiwi, terhadap lingkungan, terhadap flora dan fauna.

Pesan-Nya Jelas, sangat jelas, TETAPI kita harus mengembangkan “pandangan batin kita untuk menghayati makna dari pesan tersebut”.

Kita harus mengembangkan “telinga batin untuk mendengar pesan tersebut”. Kita harus mengembangkan karunia atau “Kasih dalam diri kita untuk merasakannya”.

Surat berisi pesan telah terkirim. Corona ibarat seorang tukang pos yang secara langsung menyerahkannya ke tangan kita. Kita harus membuka surat ini, membacanya, dan mengubah hidup kita. Ya, mengubah total!

Sekali lagi, pesannya adalah Karunia, Kasih terhadap semua makhluk. Marilah kita berkarya dan menjalani hidup kita dengan saling mengasihi. Marilah kita hidup secara bertanggung jawab….

Anand Krishna, seorang Humanis Spiritual yang lahir di Indonesia, adalah penulis lebih dari 180 buku dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Dia juga pendiri Anand Ashram (www.anandkrishna.org, www.anandashram.asia)
Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul Corona, Karma, Karunia: Sebuah Perspektif dari Ajaran Leluhur, https://bali.tribunnews.com/2020/04/28/corona-karma-karunia-sebuah-perspektif-dari-ajaran-leluhur

Editor: DionDBPutra