Inilah judul kertas saya untuk Konferensi Gerakan Sufi dalam Masyarakat Islam Kontemporer yang diadakan di Singapura pada 14-15 Agustus 2008, digelar Universitas oleh Nasional Singapura dan Institut Studi Asia Tenggara.

Bersama dengan penulis, Indonesia diwakili oleh Prof. Azyumardi Azra, seorang akademisi terkemuka kita. Panitia tampak berusaha keras untuk memastikan bahwa kelima benua terwakili oleh akademisi, profesor dan pemikir-pemikir dunia lainnya.

Sayangnya, sebagian besar dari mereka memaknai paham Sufi sebagai Sufi-“isme”, dan meletakkannya sejajar dengan isme-isme lainnya.

Sufi bukanlah sebuah isme. Ini merupakan cara hidup. Sejarawan Arab Al Beruni (973-1048 AD) menulis dalam magnus opusnya di India bahwa kata Sufi berasal dari kata paiasopa, yang dalam bahasa Yunani berarti, “menyukai kebijaksanaan”. Ini tak ada hubungannya dengan suf – kata Arab yang berarti wool – atau kain wool yang dipakai oleh para pengikut Sufi. Ia lantas mengutip pula  Abu-alfath Albusti, yang mengkaitkan Sufi dengan safi atau kemurnian; dan Sufi ialah seseorang yang hidup murni, dalam kemurnian dan kesederhanaan itu sendiri.

Menjadi Sufi bukanlah pelarian; ia tidak melarikan diri dari masyarakat. Ia bukan seorang pertapa. Beberapa Sufi bisa jadi memilih untuk hidup sebagai fakir, tapi itu bukan satu-satunya pilihan. Itu bukan syarat ataupun kriteria utama untuk menjadi seorang Sufi.

Seorang Sufi harus tetap berada di tengah masyarakat dan bekerja untuk kebaikan semua. Saya yakin bahwa cara Sufi-lah yang bisa menyelamatkan peradaban kita. Hisham dari Universitas Warwick, UK, menulis dalam “Sufisme dan Perang terhadap Teror”. Ia mengelaborasi betapa lakunya Sufisme di Barat hari ini. Sufisme dilihat sebagai antidot terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Tapi ia juga setuju bahwa sebagian besar orang Barat yang mendanai apa yang disebut lembaga Sufi sebenarnya meraba-raba dalam gelap, mereka tak tahu hendak melangkah kemana.

Tidak, baik Sufisme dan pelembagaan Sufi tak bisa menjadi solusi bagi masalah dunia. Di negara ini, kita bisa menyaksikan contoh yang melimpah. Tatkala cara hidup Sufi dilembagakan dan menjadi sebuah isme, ini menjadi ancaman bagi lembaga lainnya, terutama lembaga agama dan politik. Lembaga-lembaga semacam itu, seperti ditunjukan oleh sejarah, selalu  bermusuhan, karena mereka tak bisa melakukan apa yang bisa Sufi perbuat. Mereka tak bisa menyatukan kelompok tersebut dengan kekuatan cinta, seperti yang Sufi telah lakukan. Mereka membangun masyarakat berdasarkan rasa takut. Sedangkan Sufi membangunnya dengan berlandaskan cinta.

Semangat Sufi atau cara hidupnya, tanpa pelembagaannya, ialah solusi bagi masalah dunia saat ini. Ruh Sufi musti merembesi pikiran kita dan menembus batu bata tebal dan kokoh yang menghalangi pikiran kita.  Paradigma Sufi musti merubah seluruh cara pandang kita terhadap kehidupan, dan kemudian kita akan memiliki masyarakat yang sepenuhnya baru. Kita akan mempunyai masyarakat yang tercerahkan.

“Hatiku telah terbuka sepenuhnya: ini menjadi padang rumput bagi kawanan domba, biara bagi para pertapa, kuil bagi arca-arca sembahan, Kaaba bagi para peziarah, meja bagi kitab Taurat dan kitab Ssci Alquran. Saya mepraktekkan agama cinta: Kemanapun arah kereta meluncur, agama cinta akan selalu menjadi agamaku dan keyakinanku,” tulis Ibn Arabi (1165-1240)

Sebuah masyarakat yang berlandaskan pemahaman bersama dan apresiasi dan tidak sekedar toleransi ialah kebutuhan mendesak kita. Menteri Singapura untuk Lingkungan Hidup dan yang juga bertanggungjawab mengurus urusan Muslim, Yaacob Ibrahim, mengutip pendapat Ibn Khaldum yang menggambarkan seorang Sufi ialah ia yang pensiun dari segala hal yang lain dan berpaling pada Tuhan.

Penjelasan yang bagus, tapi pensiunan tersebut hari ini membutuhkan hati pula. Hati seorang Sufi yang tak lekat pada hal duniawi. Pikirannya harus bebas dari segala keterikatan. Dengan hati dan pikitran yang bebas, seorang Sufi harus tetap tinggal di tengah masyarakat.

Kita membutuhkan ekonom Sufi dan politisi Sufi yang tidak serakah dan haus kekuasaan – yang berada di tengah masyarakat untuk melayaninya. Kita memutuhkan pemuka agama Sufi yang tak mengiming-imingi janji surga tapi berjuang untuk menciptakan surga di dunia. Kita membutuhkan pendidik Sufi untuk mengajar kita bagaimana bersatu dalam cinta dan tak terpecah-belah oleh kebencian.

Prof. Bruce Lawrence dari Universitas Duke di USA mengutip cerita tradisional yang begitu terkenal tatkala Sahabat Nabi Hazrat Abu Bakr mengumumkan bahwa Nabi telah tiada, tapi Islam tetap hidup. Bagi para Sufi, seperti yang dikatakan Bruce, baik Nabi maupun ajaran beliau, jalan menuju penyatuan dengan Allah akan senantiasa hidup.

Tak cukup kita mempelajari hidup beliau saja; kita harus menempuh jalan yang telah beliau tunjukkan. Karena, seperti yang dikatakan dalam Kitab Suci Al-quran, pada hari penghabisan perbuatan kitalah yang akan menjadi pertimbangan akhir: “Pada hari tersebut lidah, tangan, dan kaki mereka akan menjadi saksi atas apa yang telah mereka lakukan.”

Anand Krishna ,  Jakarta   |  Mon, 08/25/2008 11:16 AM  |  Opinion