“Indonesia masih dalam proses menjadi,” kata seorang rektor univesitas nasional terkemuka di Jakarta bulan lalu. Ratusan mahasiswa dari pelbagai kampus di Jakarta dan sekitarnya duduk tepukau menyaksikan orasi dan bahasa tubuh beliau yang begitu baik, mendengarkan apa yang disampaikan tanpa memahami apa yang dimaksudkan.
Pertemuan tersebut difasilitasi oleh sebuah LSM dan dilaksanakan tepat 5 minggu sebelum perayaan 100 tahun Hari kebangkitan Nasional pada 20 Mei.
Saya mencoba memahami kata-katanya; tapi pengertian Indonesia yang mana yang ia maksud? Apakah ia mengacu pada negara Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945?
Atau bangsa Indonesia yang diimpikan oleh beberapa pemuda kita, yag dipimpin oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan didukung oleh Dr. Soetomo, Gunawan dan Suradji, yang bersama-sama mendeklarasikan pembentukan Boedi Oetomo pada 20 Mei 2008?
Atau baangkali ia mengacu pada istilah yang dipakai dalam jilid keempat Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Tenggala (Singapura, 1850) oleh pengacara Skotlandia bernama James Richardson Logan (1819-1869).
Istilah “Indonesia” untuk menyebut negri kita ini memang kurang dari dua abad usianya. Bahkan Republik Indonesia baru berusia 60 tahun lebih sedikit. Jika proses pembentukan bangsa kita ditarik ke belakang sampai “kebangkitan nasional pada 1908, maka kita baru berumur seabad saja.
Kalau kasusnya seperti itu, maka barangkali apa yang disampaikan akademisi kita di atas tepat. Indonesia masih dalam proses menjadi, ia belum final.
Yang menarik ialah banyak politisi kita sekarang berpikir dengan pola yang sama. Bahkan mereka dan partainya, didekengi oleh LSM dan lembaga keagaaman, mencoba untuk mengubah konstitusi kita.
Beberapa bekerja secara diam-diam, lainnya secara terbuka, tak hanya mengkampanyekan tapi sudah bekerja dengan sistematis untuk mempromosikan sistem kenegaraan yang berbeda berdasarkan doktrin agama.
Sebuah negara yang masih dalam proses menjadi berarti negara itu belum matang. Dan negara yang belum matang dapat diperlakukan seenaknya oleh siapa saja. Ia bisa dieksploitasi, bahkan dihancurkan. Pertanyaannya ialah, apakah kita ini belum matang sebagai sebuah bangsa? Jawabnya “ya, jika kita dianggap masih berumur seabad saja”.
Tapi faktanya kita tak cuma berumur seabad.
Hari Kebangkitan Nasional bukanlah hari lahir bangsa kita. Kata kebangkitan dalam bahasa Indonesia, yang sekarang identik dengan Boedi Oetomo bisa memiliki beberapa arti. Ini bisa diterjemahkan sebagai, “kemunculan”, “kebangkitan” dan saya lebih suka memakai kata “kebangunan kembali”.
Paska kemunduran dan kejatuhan Majapahit pada sekitar 1578, Boedi Oetomo menjadi gerakan pertama yang bersemangatkan kebangsaan – semangat yang telah tertidur selama hampir 330 tahun.
Ada beberapa gerakan sebelum Boedi Oetomo, salah satunya yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro di Jawa – tapi itu masih bersifat kedaerahan. Mereka tak tumbuh menjadi gerakan nasional. Boedi Oetomo melakukannya.
Seperti, satu dari para bapa bangsa kita, Bung Karno tak salah mengkaitkan gerakan ini dengan kebangkitan, atau lebih tepatnya kebangkitan “kembali” bangsa kita.
Bung Karno, begitu pula yang dilakukan oleh ahli sejarah Muhammad Yamin dan Sanoesi Pane, yang meyakini bahwa kita sudah berbangsa jauh sebelum Boedi Oetomo. Kita pernah menjadi sebuah bangsa pada masa kerajaan Sriwijaya; kita ialah sebuah bangsa pada saat Dinasti Majapahit. Tapi kita kehilangan rasa kebangsaan tersebut, tatkala kita diperdaya oleh sekelompok pedagang dan saudagar yang menggunakan agama dan sentimen keagamaan untuk mencerabut kita dari akar budaya kita.
Kita terpecah belah sebagai sebuah bangsa, dan selebihnya sudah tercatat dalam sejarah.
Dalam jilid kedua trilogi monumental tentang Indonesia, Dari Majapahit dan Sukuh sampai Megawati Soekarnoputri, akademisi Kanada bernama Victor M. Fic menasehati kita bahwa “panduan terbaik untuk menyongsong masa depan bagi rakyat Indonesia ialah pengalaman masa lampau mereka.’
Lebih lanjut ia menulis selama “pemerintah, partai politik, kelompok agama, dan organisasi dan individu lainnya menghargai 7 prinsip kontinuitas dan perubahan dalam pluralisme multifaset, menghindari ektrimitas keagamaan dan politis serta menjaga agar sistem tata negara tetap terbuka terhadap adopsi dan adaptasi gagasan-gagasan baru serta inovasi, maka negara ini akan berada pada posisi yang baik guna menghadapi tantangan dan ketidakpastian di dekade pertama abad 21 ini.”
“Jangan lupa sejarah”, kata Bung Karno, Saya tak tahu berapa banyak politisi dan anggota DPR menyadari bahwa dewasa ini kita dipaksa oleh pihak asing untuk melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah kita buat di masa silam.
Kita memenuhi pesanan yang dibuat oleh saudagar yang sama dan pedagang dari tanah manca, menggunakan dalih agama sebagai topeng, dan didukung oleh saudara-saudari kita sendiri yang tak tahu bahwa mereka diperalat.
Gerakan Boedi Oetomo di masa lalu dan dilanjutkan pertumbuhan di lapangan pendidikan yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara dan di ranah ekonomi oleh Muhammad Hatta “membangunkan” kita pada kesalahan masa silam. Kita menyadari jalan pintas kita; kita bangkit dan berkata lebih”.
Oleh karena itu, kita tak memilih platform keagamaan tertentu untuk membangun kembali negri ini, kita memilih landasan budaya. Uniknya, fondasi yang kita pilih tersebut justru diapresiasi oleh anggota PBB.
Bung Karno mendapat sambutan meriah dari seluruh anggota PBB tatkala beliau bicara tentang membangun dunia baru berdasarkan prinsip-prinsip tersebut.
Sayangnya, belakangan ini kita kembali tertidur. Perayaan 100 tahun hari Kebangkitan Nasional tahun ini merupakan seruan untuk “kebangkitan kembali” secara nasional. Sekarang bukan saatnya tidur. Kini saatnya bekerja!
Kita semua musti bekerja bersama untuk menguatkan landasan bangsa ini dan membangun negara modern di atasnya. Mari kita belajar dari kesalahan masa silam, seperti yang Victor M. Fic ingatkan pada kita, jika kita tidak menarik hikmah dari semua itu, maka kita akan dikutuk untuk mengulangi kesalahan yang sama.
Actually, there are not too many rules to follow. First and foremost is, “unity in diversity”. Second:we stand, divided we fall.” Third: “Promoting a value-based education system”. Fourth: “Cooperation, not corporation”. Fifth: “Peace, prosperity and justice for all”.
Sebenarnya, tak terlalu banyak aturan yang musti diikuti. Pertama dan utama ialah “Bersatu dalam Kebhinekaan”. Kedua: bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.” Ketiga: Mempromosikan sistem pendidikan berdasarkan nilai keutamaan”. Keempat: “Koperasi, bukan korporasi”. kelima: “Kedamaian, kesejahteraan dan keadilan bagi semua”.
Mari kita semua berkomitmen pada diri kita sendiri untuk membangkitkan kembali semangat kebangsaan kita, persaudaraan antar anak bangsa. Mari kita bangga pada kepercayaan leluhur kita dan kejayaan masa silam, tapi niscaya masa depan kita lebih gemilang!
Anand Krishna , Jakarta Post | Senin, 19 Mei 2008
Terjemahan oleh Nugroho Angkasa dari Jakarta Post