Tak menyenangkan mendengar Prof. Jeffrey Winters dari Universitas Northwestern Amerika Serikat mengkritik kita lewat sebuah program televisi di sini yang mengatakan bahwa kita, orang Indonesia, kurang rasa keterdesakan.
Banyak yang menganggap pengamatannya itu secara kurang bersahabat. Salah seorang pejabat tinggi kita menaggapi secara sinis, “Apa yang bule (ejekan untuk orang kulit putih) itu tahu tentang kita?”
Begini Tuan Pejabat yang terhormat, apa yang anda panggil bule itu memang tahu tentang kita. Dan begitu pula halnya dengan Orang China, Jepang, India, bahkan Afrika dan Timur Tengah.
Bukti apa yang lebih konkret perihal pengetahuan mereka tentang kita ialah begitu banyak jilid buku yang ditulis oleh mereka tentang peninggalan budaya kita – dan cerita sukses para pengusaha mereka di negara ini?
Bandingkan kisah sukses mereka di negara kita dengan kisah sukses dari orang-orang kita (yang tak berkulit putih) di negara mereka.
Maaf Tuan Pejabat, mereka memang lebih tahu tentang kita ketimbang kita mengenai mereka.
Beberapa waktu lalu, saya berada di negara tetangga Singapura untuk menghadiri sebuah pertemuan penting. Dan, ada seorang lelaki berpakaian sederhana, yang duduk mendengarkan seluruh presentasi saya, mengambil tempat duduk sama dengan pengunjung lainnya.
Pada akhir presentasi saya, ketika ia berdiri untuk menyelamati saya, salah seorang panitia mengenalkannya pada kami.
“Beliau ialah Menteri kami…”
Wow! Menteri kita di sini, saat diundang ke sebuah konferensi, biasanya hanya tinggal untuk mendengarkan apa yang mereka katakan sendiri. Setelah upacara pembukaan atau penutupan, mereka segera menghilang. Sehingga tak heran bila mereka tak memahami apa yang sebenarnya terjadi di kehidupan nyata. Mereka hidup di menara gading dalam imaginasi mereka sendiri. Jangan salahkan para akademisi kita yang melakukan hal serupa, karena mereka hanya mengikuti atasannya.
Daripada mendengarkan pembicara lainnya di pertemuan, kita lebih suka bermain golf, berkumpul bersama teman-teman atau bahkan menemani istri kita berbelanja. Tentu dengan menggunakan dana dari para pembayar pajak!
Baru-baru ini, seorang Ibu mengatakan pada saya bahwa ia ditawari kedudukan yang “pasti” di parlemen, tentu dengan tarif tertentu. Si makelar yang memberikan penawaran tersebut mengatakan, “Itu tak banyak, anda dapat mengembalikannya. Anda dapat memperoleh lebih banyak lagi dalam empat tahun saja.”
Lalu, si Ibu bertanya, “Kenapa 4 tahun, saya kira masa jabatan saya 5 tahun?”
Si makelar menjelaskan,”Lihatlah Ibu, anda sesungguhnya tak membutuhkan waktu lebih dari setahun untuk mengembalikan investasi Anda. Tahun kedua untuk menabung bagi hari depan Anda. Tahun ketiga untuk membantu sanak famili Anda. Tahu keempat untuk menunjukkan apresiasi Anda kepada para pendukung pada pemilu berikutnya. Tapi, tahun kelima akan tetap kering. Tak bisa macam-macam lagi. Anda harus bekerja untuk mamastikan bahwa mereka memilih anda lagi.”
Saya merasa anggota parlemen kita tak memiliki penghubung yang bisa memberi informasi di atas kepada mereka. Itulah kenapa saat bekerja di kantor selama tahun terakhirnyapun, mereka masih tak menaruh perhatian atas apa yang terjadi di luar sana.
Kembali ke rasa keterdesakan kita: Pada 28 Agustus 2008, seorang wanita usia dua puluhan, Istiqomah, dipukuli oleh sekelompok kaum radikal di ruang pengadilan, disaksikan oleh aparat kepolisian, pengacara, dll.
Anehnya, para radikal tersebut dibela oleh beberapa pengacara terbaik kita, atas nama profesionalisme.
Saya akan mencoba untuk “menghubungkan” diri saya dengan salah seorang dari mereka dan mengadakan dialog imaginer…
“Mengapa Tuan?” saya bertanya.
“Saya seorang profesional. Mereka ialah klien saya,” ujarnya.
Saya mencoba meyakinkannya bahwa mereka tak berada di pihak yang benar. Apa prioritasnya, apa yang paling mendesak baginya? Membela seorang klien atas nama profesionalisme, atau menyelamatkan negara dari kehancuran. Begitu jelas, para radikal tersebut sudah melampaui batas.
Menanggapi hal ini ia menjawab, “Baiklah, klienku mengatakan hal yang sama tentang dirimu – bahwa kamu sudah melampaui batas juga. Mereka pun mencoba menyelamatkan negara ini.”
Berarti pengacara kondang tersebut tak memiliki rasa keterdesakan untuk bertanya pada nuraninya sendiri bagaimana mereka bisa menyelamatkan negri ini?
Apakah dengan menuduh orang “Kafir” di ruang pengadilan?
Apakah dengan mengintimidasi orang yang duduk di samping mereka, meneriakkan “Keluar! Bonyok!…”
Apakah dengan meminta orang lain di ruang pengadilan untuk menunjukkan KTP, agar orang yang non-Muslim tidak bisa menghadiri dan mendengar putusan atas pimpinan mereka?
Sayangku Tuan Pengacara, di mana rasa keterdesakanmu? Apa prioritasmu? Bagaimana kalau anakmu, putri atau saudari wanitamu sendiri yang dilecehkan seperti yang dialami Instiqomah pada hari itu?
Anda benar Prof Winters. Kami memang kekurangan rasa keterdesakan. Pemimpin agama kami sibuk mengorganisir dialog antar iman di hotel berbintang lima, tapi tak merasa terusik dengan apa yang dilakukan oleh para kelompok radikal di jalanan, yang didukung oleh pejabat korup dan politisi yang tak berlandaskan nurani.
Pada kesempatan lain, mereka lagi-lagi menunjukkan arogansinya dengan bersepeda motor keliling Jakarta tanpa mengenakan helm. Mereka menantang aparat keamanan atas nama hak manusia/agama mereka, dengan mengatakan “Kopiah kami ialah identitas keagamaan kami”.
Saya merasa lega mendengar Ketua Makhamah Konstitusi yang baru Prof. Mahfud MD mengatakan bahwa beliau tidak setuju dengan peraturan daerah (perda) berasaskan akida agama yang belakangan begitu marak bermunculan di beberapa daerah.
Beliau memiliki rasa keterdesakan, karena beliau tahu bahwa hukum dan peraturan yang berlandaskan akidah agama akan menghancurkan bangsa ini. Tapi, di sekitar beliau, siapa yang memiliki rasa keterdesakan yang sama?
Para menteri kita? Tidak, mereka terlalu sibuk berpesta dan menghamburkan kekayaan negara untuk pesta anak, sepupu dan keponakan mereka.
Anggota perwakilan rakyat kita? Tidak, mereka terlalu sibuk jalan-jalan untuk memanfaatkan sepenuhnya waktu sisa masa jabatan di kantornya.
Petinggi partai-partai politik kita? Mereka terlalu sibuk memperebutkan kekuasaan.
Tapi, tak usah putus asa. Kita masih memiliki “diri” kita sendiri untuk merespons tantangan dari Prof Winters.
Mari kita mengembangkan rasa keterdesakan yang dibutuhkan untuk mengatasi pelbagai permasalahan yang dialami bangsa ini.
Anand Krishna , Jakarta | Thu, 09/04/2008 10:14 AM | Opinion
Terjemahan oleh Nunung