Dalam artikel terdahulu, kita secara singkat menyinggung masalah “terorisme”. Apa itu Teror? Siapa yang bisa disebut Teroris? Siapa yang bisa diteror dan bagaimana prosesnya?

Pertanyaan Pertama kita adalah : Apa itu teror?

Teror terlahir karena adanya rasa takut. Ia juga yang menyebabkan rasa takut. Dan, pertanyaan kedua, adalah : Siapa yang bisa disebut teroris? Jawabannya adalah : Orang yang penakut.

Pertanyaan ketiga kita : Siapa yang bisa diteror? yakni mereka yang dicekam rasa takut, mereka inilah yang amat mudah diteror.  Bagaimana caranya? Yakni dengan memicu rasa takut yang terpendam dalam diri  dan memancingnya agar muncul ke permukaan.

Kesimpulannya :  teror, terorisme, teroris – mereka semua tergabung dalam Perkumpulan Para Penakut. Mereka tak bisa exist tanpa rasa takut. Jika hal ini dipahami secara memadai, kita bisa dengan amat mudah mengatasai terorisme. Bagaimana caranya ? Dengan menjadi berani – semudah itu. Orang yang berani tak bisa diteror. Dan, jika yang disebut “Teroris” gagal menterormu, maka mereka mereka kehilangan “jati diri” mereka sebagai teroris. Ia bukan lagi seorang teroris. Ia tak lagi tergolong sebagai kelompok elite tertentu.

Dan ketika seorang teroris berhenti menjadi teroris – ia hanyalah seorang penjahat biasa. Ia tak lebih dari bandit jalanan. Ya, ia tetap masih bisa melempar bom dan membahayakan dirimu – tapi ia tak bisa lagi menterormu.

Aku berpikir keras akan hal ini hingga akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa, ” Aku bisa menghentikan  teror dengan menolak untuk diteror.” Lantas, otomatis para teroris tersebut tak lagi exist. Aku akan menangani mereka seperti layaknya mengadili penjahat lain. Meraka hanya penjahat biasa.

Penolakanku untuk diteror lahir dari pemahaman akan faktor-faktor penyebab rasa takut. Aku mengawalinya dengan bertanya pada diriku sendiri : Di bagian mana dari diriku ini yang masih terdapat rasa takut? Dan, aku menemukan bahwa ia exist dalam pikiran. Ia mengekspresikan dirinya melalui otak. Pemahaman ini membuatku begitu mudah melampaui rasa takut. Ia exist dalam pikiran, maka aku harus mengurusi pikiranku – ya…pikiranku sendiri, bukan punya orang lain.

Tapi, Bagaimana caranya mengatasi pikiran?
Tiba-tiba, aku menyadari bahwa ternyata pikiranku itu sendirilah yang akan memberi petunjuk guna mengatasi dirinya sendiri. Setelah menyadari ini, pekerjaanku menjadi mudah. Aku hanya perlu bersahabat dengan pikiranku guna memperoleh pentunjuk-petunjuk lanjutan.Kamu mungkin bertanya padaku siapakah “Sang Aku” yang menjadi sahabat pikiranku. Akupun bertanya pada diriku sendiri dan Aku bersua dengan sesuatu di balik pikiran, fakultas/bagian lain yang ternyata exist juga – yakni Kesadaran.

Aku menyelam ke dalam Kesadaran, dan aku menemukan begitu banyak lapisan kesadaran diri…ini seperti menjelajahi langit tak berbatas, langit yang ada dalam diri…pada titik itu aku merasa begitu mantap, aku bisa melihat keluar dari dalam. Semuanya begitu jernih, pikiran menjadi bening. Siapa yang menyaksikan semua ini? Itu adalah aku – Sang Aku, Kesadaran Murni.

Pikiran mengajukan banyak pertanyaan, ia bertanya dan ia pula yang menjawab, pada akhirnya semuapun berlalu.

Menyelami kesadaran amat berbeda situasinya.

Sangat misterius tapi tak muncul satu pertanyaanpun. Sehingga otomatis tak ada jawaban yang harus diberikan.

Hanya sebuah pengalaman, kesadaran – itu saja.

Keluar dari pengalaman ini, aku menyadari bahwa tak ada ketakutan selama aku dalam pelukan kesadaran – aku menguasai diriku sepenuhnya. Selama pengalaman tersebut, aku sepenuhnya bebas dari rasa takut. Tak ada kekhawatiran, tak ada kegelisahan, tak ada…apa-apa…kasunyatan…

Itulah bagaimana caranya aku mengatasi  terorisme. Itulah bagaimana aku menemukan solusi guna membasmi teroris. Bersahabatlah dengan pikiranmu sendiri, saksikan dia, dan pergilah ke sebaliknya. Larutlah dalam kesadaran murni di mana tiada rasa takut. Dan, tanpa rasa takut otomatis terorisme tak bisa exist lagi.

Berhentilah berfilosofi,” kata seorang kawan, “Katakan padaku bagaimana mengatasi pelaku bom bunuh diri yang berada di halaman rumahku. Aku tak takut pada mereka, baiklah, tapi mereka masih merupakan sebuah ancaman. mereka masih tetap membahayakanku, keluargaku, membunuh kami semua.”

Aku harus minta maaf karena aku tak bisa berhenti berfilosofi. Tanpa falsafah kehidupan menjadi tumpul, tanpa makna. Falsafahlah yang memberi makna pada kehidupan – tapi filosofi macam apa? Ini adalah filosofi yang bisa diterapkan. Ini adalah sebuah praktek yang harus melibatkan tak hanya akal tapi juga hatiku, pikiranku – semua lapisan kesadaranku.

Tidak, aku tak bisa berhenti berfilosofi.

Ya, aku dapat berhenti bicara tentang filsafat, karena bicara tanpa tindakan ialah sia-sia.

Filosofiku sederhana :
Pikiranlah yang menciptakan rasa takut. Pikiran penuh dengan pertanyaan sekaligus jawaban. Pikiran selalu ragu-ragu. Pikiran selalu membawa kita pada masalah. Maka, bersahabatlah dengan pikiranmu. Buatlah dia menyadari permasalahannya sendiri, ulurkan tangan untuk membantunya. Jangan berkonfrontasi dengannya. Dan kemudian tunggu, hanya menunggu…menunggu sampai ia memberimu sinyal silakan jalan terus. Dan tanda itu dikuti dengan petunjuk, petunjuk praktis bagaimana untuk melampaui pikiran itu sendiri. Bukan hanya itu saja, pada titik ini pikiranmu menyingkir ke samping dan mempersilakanmu bertemu dengan Jati Diri yakni Kesadaran yang melampaui pikiran.

Ini, kemudian, yang menjadi jalan menuju Keberanian.
Ini adalah cara kamu mengatasi teror, dan juga cara untuk membasmi teror dan segala aktivitas terorisme.

Mari kita pahami lebih lanjut hal ini :
Karena pikiran kita dipenuhi dengan rasa takut, maka pikiran juga bisa kita sebut sebagai teroris. Rasa takut adalah belenggu diri kita, satu-satunya faktor yang mengikat kita. Untuk mematahkan belenggu ini, ikatan ini – kita harus melampaui rasa takut. Tepat saat hal ini terjadi maka ikatan belenggu itu terpatahkan. Ikatannya terputus.

Apakah kamu sungguh yakin bahwa para teroris itu penakut?”

Seorang teman bertanya padaku. Aku tahu apa yang kamu maksudkan. Aku paham apa yang hendak kau sampaikan. Kamu melihat wajah mereka di layar televisi, kamu melihat mereka tersenyum bahkan tertawa dan bersorak-sorai – dan kamu merasa bahwa mereka tak merasa takut. Ada pepatah lama yang mengatakan, “Jangan menilai buku dari sampulnya.” Semua  itu sandiwara belaka kawan. Senyum mereka, tawa dan sorak-sorai mereka palsu. Mereka mencoba menyembunyikan rasa takut di balik senyum itu. Fakta yang sesungguhnya mengenai diri mereka ialah mereka merasa takut.

Tapi rasa takut karena apa?
Rasa takut tak didengar. Takut tak diperhatikan, sehingga mereka mencoba mencuri perhatian kita. Mereka memaksa pemirsa televisi menaruh perhatian pada mereka dan tindakan mereka.

Sesungguhnya, seorang penjahat takut pada dirinya sendiri. Itulah ketakutan primer mereka, faktor pokok penyebab rasa takut. Saat kamu merasa tak percaya diri, ketika kamu berpikir kamu tak dapat meyakinkan gagasanmu pada orang lain lewat dialog – maka kamu  akan melakukan tindak kekerasan. Sebuah tindak kekerasan hanya membuktikan kelemahan, yaitu rasa tak berdaya dan rapuh.

Seorang teroris, atau dalam bahasa kita kini, penjahat… adalah seorang pecundang. Dia kehilangan martabatnya sebagai manusia.  Hal ini amat berbeda dengan tentara yang bertempur di medan perang. Walau tindakannya tak bisa dibenarkan sepenuhnya kini. Tapi, paling tidak dia bertempur demi negara. Ada aturan main yang harus ditaati. Dia tak boleh membunuh orang yang tak berdosa.

Walaupun saat ini, banyak negara yang melanggar aturan main dan melakukan tindak kekerasan yang merusak. Tapi, dalam kasus tersebut kesalahan  tak bisa sepenuhnya dibebankan kepada tentara yang bertempur di garis depan. Kesalahan utama terletak pada negara yang membuat kebijakan dan melanggar aturan main.

Seorang teroris seringkali  mengidentifikasikan dirinya dengan seorang tentara yang berjuang demi tujuan yang jelas. Identifikasi macam ini adalah keliru, seperti seorang pembantu yang menganggap dirinya kepala negara. Seolah-olah mereka memperjuangkan kepentingan negara.

Sebuah kelompok radikal dan militan tak bisa diidentikkan dengan sebuah negara. Mereka sama sekali tak membantu negara, di manapun juga. Mereka lebih banyak membahayakan negara ketimbang melakukan kebajikan. Mereka juga tak bisa mengatasnamankan kelompok agama tertentu, kelompok sipil tertentu. Representasi semacam itu merupakan hak prerogatif pemerintah.

Para penjahat yang kita sebut teroris tersebut adalaha sekumpulan orang bingung. Mereka orang yang tak mengakar di bumi yang mereka pijak, mereka orang-orang sakit. Bagaimana kamu bisa menjelaskan penghancuran patung Buddha raksasa oleh rezim Taliban di Afganisan.

Patung-patung tersebut adalah peninggalan budaya leluhur mereka. Mereka adalah saksi atas kejayaan di masa lampau, saat para insinyur, pengrajin dan pemahat dapat menciptakan karya seni yang demikian agung dan indah. Mereka, tentu saja, memiliki dalih “suci-sumuci” untuk pembenaran atas tindakan yang mereka lakukan. Sebuah penjelasan yang tampaknya “masuk akal” secara hukum tapi sama sekali tak  memperhitungkan perasaan jutaan umat Buddha di seluruh dunia.

Jauh di lubuk sanubari mereka, aku yakin, bahwa mereka menyadari bahwa penjelasan yang mereka berikan seionpun sama sekali tak sesuai dengan suara nurani dan kebenaran. Lalu apa alasan sesungguhnya, mereka bisa saja menghancurkan patung-patung tersebut saat menguasai Afganistan. Mengapa mereka baru melakukannya setelah 6 tahun memberlakukan hukum syariah sebagai landasan negara? Mereka sesungguhnya menghancurkan patung-patung tersebut untuk mencuri perhatian dunia yang hampir saja melupakan mereka.

Mereka bertingkah laku seperti anak kecil yang tak berdaya – sangat rapuh. Dan, mereka dihantui oleh rasa takut. Mereka takut diisolasi, walau mereka berulangkali menyangkalnya. Lebih-lebih, sejak satu-satunya pendukung mereka, yakni negara tetangga sebelah yang karena tekanan dunia internasional menarik dukungannya terhadap aktivitas kelompok terorisme ini. Mereka pernah mendukung perbuatan kelompok ini, “kerabat” nya, dalam sebuah tindak kriminal – yakni membajak sebuah pesawat komersial India – dan membiarkan mereka mendarat di bagian negara Afganistan yang berada di bawah kekuasaan mereka. Itu ternyata tak cukup, para pembajak tersebutpun mendapat jaminan bisa keluar dari Afganistan dengan selamat.

Mengapa? mengapa mereka melakukan hal semacam itu? Karena mereka merasa tak bisa bernegosiasi untuk meyakinkan orang lain lewat dialog. Mereka tak punya rasa percaya diri terhadap diri mereka sendiri. Mereka tak memiliki cukup akal sehat, sebuah rahmat dari yang Maha Kuasa. Maka atas apapun juga yang terjadi mereka selalu mengacu pada “apa yang tertulis”, lebih tepatnya “apa yang mereka pahami atas teks tersebut”

Mereka menutup diri, hati dan pikiran atas fakta bahwa ” tak semuanya bisa ditulis”. Tuhan terlalu besar untuk dijabarkan lewat aksara dan kata. Kebijaksaaan abadi tak bisa diredusir dalam bentuk tulisan secara menyeluruh dan utuh. Ini bukanlah monopoli kelompok tertentu berdasar pemahaman mereka yang terbatas. Dan ituah sebabnya, Dia Yang Maha Esa menganugerahi kita dengan pikiran, intelegensia, dan otak beserta seluruh perangkatnya. Ini sebuah penghinaan terhadap pemberian Tuhan jika kita tak menggunakannya.

Seorang penjahat, yang melakukan tindak kekerasan, seorang teroris telah menyia-nyiakan pemberian Tuhan. Mereka telah menjadi zombie, robot. Kerap kali mereka hanya  melakukan apa yang diperintahkan. Ia adalah bagian dari sebuah organisasi, di mana pimpinannya terlindungi secara aman. Ia hanya bisa berkomunikasi dengan orang yang berada setingkat di atasnya. Dan mereka sama sekali tak terlatih menggunakan pikirannya, otaknya. Ia bahkan tak pernah mencoba memahami sesuatu, ataupun mempertanyakan sesuatau. Orang lainlah yang mengoperasikan mereka, mengoperasikan mesin yang adalah diri mereka sendiri. Jika satu tombol ditekan maka ia akan beroperasi, dan tombol lain ditekan ia seketika berhenti.

Maka, bagaimana kita harus berurusan dengan orang macam ini?
Menggantung mereka? Menaruhnya di kursi listrik? Membunuh mereka? Apakah itu menyelesaikan permasalahan? Apakah itu menyelesaikan permasalahan dunia kita saat ini? Ini tidak tepat. Walau satu kali hukuman mati dapat menjadi shock terapi. Ini bisa sesat membangunkan yang lainnya. Tapi hanya akan membuat penyesalan sesaat saja. Tapi tak menyelesaikan permasalahan sampai ke akarnya.

Solusinya adalah dengan transformasi pikiran, melampaui pikiran; sehingga membuat mereka bisa melampaui rasa takutnya sendiri. Solusi jangka panjang semacam ini akan menimbulkan kesadaran dalam diri mereka, bahwa sebuah tindak kekerasan akan memicu reaksi kekerasan pula. Sekali itu dilakukan maka mereka tak bisa menghindar dari siklus atau lingkaran ini, terserah kamu menyebutnya apa.

Sebuah lingkaran kejahatan hanya bisa diubah menjadi lingkaran kebajikan dengan menolak menjawab kekerasan dengan kekerasan. Aku terus mengingatkan bahwa, rakyat palestina masih harus berjuang guna  mendapatkan negaranya kembali, apakah mereka telah melakukan metode tanpa kekerasan untuk memerangi Israel. Aku mendukung perjuangan rakyat Palestina merebut kedaulatan kembali. Tapi aku tak bisa membenarkan cara yang mereka gunakan, paling tidak oleh beberapa kelompok, yang selama ini dilakukan. Cara semacam itu tak akan menolong mereka.

Apa yang dilakukan Gandhi, Martin Luther King Jr., dan pencapaian semua tokoh anti kekerasan  – mereka adalah saksi efektivitas metode ini.
Tapi lebih lanjut, dalam artikel yang lain aku kan memaparkan tindak kekerasan yang terjadi di negaraku sendiri, Indonesia.

(Terjemahan oleh Nunung)