Baru-baru ini saya diundang untuk berbicara tentang “Kemerdekaan Indonesia dan Relevansinya Kini.” Tema tersebut tak masuk akal bagi saya. Kalimatnya terkesan kurang tepat. Relevansi kemerdekaan Indonesia  ya berarti kebebasan yang anda dan saya nikmati saat ini.

“Tapi,” salah seorang panitia berpendapat, “tidak semua dari kita sejahtera. Tak semua dari kita menikmati buah dari apa yang disebut kemerdekaan. Kesetaraan masih jauh panggang daripada api, begitu juga soal keadilan.”
Kalau begitu pertanyaannya bukan tentang relevansi kemerdekaan Indonesia dan kebebasan. Soalnya terletak pada kesejahteraan, kesetaraan dan keadilan bagi semua. Itu semua murni urusan ekonomi dan sosial. Kemerdekaan sepenuhnya merupakan isu yang berbeda. Budak bisa saja hidup sejahtera dan menikmati perbudakannya tanpa memikirkan tentang kemerdekaan dan kebebasan.
Kemerdekaan ialah isu psikologis. Kebebasan merupakan urusan spiritual. Yakni bebas untuk berevolusi tanpa intervensi orang lain. Manusia yang berevolusi bisa memilih untuk hidup sebagai seorang fakir; ia barangkali tak berurusan dengan kesejahteraan, sesuai definisi kita atas kata tersebut. Seseorang yang berevolusi bisa memilih untuk melepaskan hak-haknya atas kesetaraan dan menerima ketidakadilan karena alasan tertentu yang mereka yakini.

Masyarakat perkotaan China di daratan China sana, saat ini hidup lebih sejahtera ketimbang zaman-zaman sebelumnya. Tapi apakah mereka bebas untuk berevolusi secara psikologis dan spiritual? Mereka dijajah oleh ideologi negara, komunisme sebagai satu-satunya tolok ukur. Karena urusan itu pula, Saudi tak memiliki kebebasan psikologis dan spiritual. Mereka musti mematuhi seperangkat dogma yang ditentukan oleh ulama mereka.

China dan Arab Saudi secara ideologis bersebrangan 180 derajat. Satunya komunis, lainnya religius. Ya, tatkala  keduanya harus meratifikasi Konsensus Internasional tentang Hak Sipil dan Politik – mereka bisa berdiri bersama, bersatu. Keduanya menolak diikat oleh kesepakatan PBB yang berlandaskan pada Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.

Baik China dan Arab Saudi keduanya ialah negara yang bebas dan merdeka, tapi bagaimana dengan warga negara mereka? apakah anda pikir mereka bebas dan merdeka?

Mao Tse Tung, bapa bangsa komunis China, menyerukan agar rakyat China dan dunia bangkit bersama. Rakyat China merespons ajakan tersebut, dan menempatkannya pada posisi yang ia sendiri tak pernah bayangkan. Mao itu “buatan” rakyat China. Tapi jangan tanya apa yang ia lakukan kemudian pada orang-orang tersebut. Jangan tanya pula kenapa rezim China yang dikukuhkan olehnya – dan masih berkuasa sampai saat ini – tak mau meratifikasi konsensus internasional.

“Pemerintah Saudi mengorbankan hak-hak asasi manusia untuk melestarikan dominasi kaum pria atas wanita,” ujar Farida Deif, peneliti hak-hak perempuan di Timur Tengah pada Pengawas Hak-hak Asasi Manusia. “Wanita Saudi tidak akan pernah maju sampai pemerintah mengakhiri penyalahgunaan wewenang politik tersebut.”

Fatma A, wanita Saudi berusia 40 tahun yang hidup di Riyadh, tak bisa memesan tiket pesawat tanpa ijin tertulis dari anak laki-laki yang menjadi penjaga resminya. “Anak laki-laki saya itu baru berusia 23 tahun tapi ia harus datang  jauh-jauh dari provinsi di belahan timur sana, sekedar untuk memberikan ijin agar saya dapat meninggalkan negara ini,” ujarnya pada Pengawas Hak-hak Asasi Manusia.

Kemerdekaan macam apa ini?

Kita, orang Indonesia, paling tidak bisa menikmati kemerdekaan yang lebih baik.

Ya, kita dapat mengatakan kemerdekaan sebagai urusan yang belum selesai. Kaum minoritas kita masih ditindas bukan oleh mayoritas, tapi oleh satu kelompok di masyarakat kita ‘atas nama mayoritas”. Hanya beberapa hari yang lalu, sekolah teologi Kristen diserang oleh segerombolan kelompok radikal. Lebih surut ke belakang, pada 1 Juni, sekelompok orang yang tengah merayakan hari lahir ideologi negara kita yang menjunjung tinggi inklusifitas dan pluralitas diserang secara brutal.

Kita tidak sendirian; radikalisme saat ini sedang bangkit di mana-mana. Lihat saja di Pakistan dan India, bahkan di Turki. Kaum radikal di mana-mana memperoleh energi tambahan. Dari mana energi tu berasal? Siapa pemasoknya?

Beberapa teman  saya, semuanya Muslim dan tinggal di pelbagai penjuru Indonesia, telah meresponnya dengan mendeklarasikan Gerakan Umat Islam Anti kekerasan. Sungguh mengejutkan, dalam beberapa hari saja beberapa tokoh agama Muslim dari dalam dan luar negri menyatakan dukungan atas gerakan mereka.

Tapi apa yang lebih mengejutkan bagi mereka ialah saat mendekati anggota kaum muda dari kelompok Muslim besar yang tinggal di daerah Non Muslim di negara ini – mereka merespon dengan cara berbeda. Bagaimana anda menjelaskan hal ini? Baiklah, paling tidak mereka memilki keleluasaan, kebebasan untuk menanggapi dengan cara begitu.

Dalam sebuah talk show di televisi, seorang mahasiswa ditepuk tangani oleh teman-temannya saat ia mendukung mantan mentri yang hendak mengganti dasar negara dengan landasan agama. Secara jelas, mahasiswa-mahasiswa itu menerapkan hak-hak mereka untuk bebas berpendapat dan berekspresi. Mereka bisa, dengan santainya, mengatakan bahwa kalau itu tak berhasil, negara ini kembali saja ke ideologi yang terdahulu, atau ganti lagi dengan yang lainnya. Pertanyaannya ialah, dengan landasan ideologi agama di Arab Saudi, atau ideologi komunis di China, apakah ia memiliki kesempatan yang sama untuk mengekspresikan dirinya?

Para mentri kita menikmati kebebasan yang sama ketika menjenguk pemimpin kelompok radikal di tahanan mereka. Bupati kita bisa mengikuti kontes pilkada dan tetap menjadi bupati jika gagal menjadi gubernur. Itu beberapa contoh kebebasan juga.

Hari ini, kita menikmati kebebasan yang lebih ketimbang zaman-zaman sebelumnya. Sayangnya, beberapa dari kita tak menghargainya. Bahkan ada yang menyalahgunakannya dengan mencabut hak orang lain atas kebebasan yang sama.

Ya, kemerdekaan kita ialah perkara yang belum selesai.

Tapi begitu pula hidup ini. Kita melakoni hidup yang belum selesai pula sampai ajal menjemput. Jadi kalau kemerdekaan kita sampai di garis “akhir”, maka kita mati sebagai sebuah negara. Kemerdekaan kita musti tetap menjadi perihal yang belum selelsai, sehingga bukan cuma generasi kita, tapi juga generasi yang akan datang yang bekerja atasnya.

Kemerdekaan bukan titik akhir. Tak ada pemberhentian dalam menghidupi kemerdekaan kita. Karena kemerdekaan bergerak, kemerdekaan berpikir, berpendapat, berperasaan dan berekspresi – ialah perjalanan yang panjang, dan bukan tanpa halangan. Saat-saat menjelang perayaan ulang tahun ke 63 kemerdekaan kita, saya pikir permainan ini menjadi lebih menarik.

Kita semua berkontribusi untuk memperindah bangunan raksasa bangsa yang telah kita bangun. Kita semua musti memiliki kebebasan untuk melakukannya dengan cara beradab dan cerdas. Ini membutuhkan pikiran yang tajam, budi yang dapat bekerja dengan intelegensia lain dalam kesatuan visi. Kita harus dapat bekerja bersama dalam keselarasan, kedamaina dan, di atas segalanya, cinta.

Beberapa dari kita telah mengambil loncatan kuantum untuk menghayati kebebasan jiwa. Banyak pula dari kita masih berjuang untuk mengatasi kebebasan badan kita. Kita memiliki kebesaran dalam diri kita, sekaligus kekerdilan. Tapi kia semua ialah bagian dan kepingan dari satu bangsa yang merdeka.

Kita semua menikmati kemerdekaan yang sama. Tantangan di depan kita bukan soal siapa yang lebih berkuasa. Tantangan di depan kita ialah bagimana kebebasan seorang raksasa tak menciut menjadi kerdil. Ini tantangan besar, sebagai bangsa besar – sebagaimana kemerdekaan kita.

Anand Krishna , Jakarta | Sat, 08/02/2008 12:35 PM | Opinion

English Version: http://www.aumkar.org/eng/?p=69
Terjemahan oleh Nugroho Angkasa,